Oleh : Muhammad Ismail Yusanto
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia
Di antara banyak gerakan Islam politik Indonesia, HTI (Hizbut Tahrir
Indonesia) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) adalah dua organisasi
yang cukup fenomenal. HTI sangat aktif dan progresif menyosialisasikan
gagasan utopisnya tentang penegakan Khilafah Islamiyah sebagai solusi
total terhadap krisis multidimensional. Keduanya merupakan tipikal
kelompok politik identitas yang mengusung label Islam. Jika HTI banyak
bermain di level masyarakat dan menolak untuk berpartisipasi dalam
demokrasi, maka PKS bermain pada level kekuasaan dan aktif dalam
pemerintahan.
HTI dan PKS adalah dua gerakan politik Islam di
Indonesia yang penuh dengan kontroversi sekaligus penuh dengan sensasi
politik. HTI yang menolak sistem politik demokrasi ternyata menikmati
demokrasi di Indonesia sebagai berkah politik. HTI demikian keras
mengkritik sistem demokrasi di Indonesia, tetapi HTI bisa bergerak
bebas; bebas berbicara dan bebas berkampanye karena Indonesia menganut
sistem demokrasi.
Dalam mengembangkan gerakannya, tak jarang
kelompok Islam politik ini sering menciptakan konflik dengan
organisasi-organisasi keagamaan moderat di Indonesia, seperti NU dan
Muhammadiyah. Konflik ini, selain terjadi di tingkat elit, juga terjadi
di akar rumput. Kasus perebutan masjid, ajakan mendirikan kelompok
pengajian sendiri, perebutan aset organisasi, serta pelabelan kelompok
tertentu sebagai liberal dan sesat adalah di antara penyebab konflik
antara HTI dan PKS dengan organisasi Islam mainstream (arus utama)
seperti Muhammadiyah dan NU.
Tidak heran jika PP Muhammadiyah
mengeluarkan sikap tegasnya terhadap gerakan Islam politik ini melalui
SK PP Muhammadiyah Nomor 149/Kep/I.O/B/2006 tentang “Kebijakan Pimpinan
Pusat Muhammadiyah”. Pada tahun 2007/1428H, dalam Konferensi Wilayah
Nahdhatul Ulama Jawa Timur di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong,
Probolinggo, mereka juga mengeluarkan Keputusan Majelis Bahtsul Masail
Nahdhatul Ulama tentang Khilafah dan Formalisasi Syariah.
Fakta
di atas menunjukkan bahwa kehadiran HTI dan PKS di Indonesia justru
memperkeruh suasana dakwah. HTI dan PKS telah kehilangan akhlak dalam
berpolitik sebab telah merugikan Muhammadiyah dan NU di Indonesia. HTI
dan PKS jelas-jelas telah mendapatkan reaksi keras dari kedua ormas
Islam itu dan menyebabkan tejadinya konflik di tingkat bawah.
Pada saat yang sama, publik gagal untuk memahami perilaku mereka dalam
menjunjung nilai-nilai universal Islam tentang keadilan, keberpihakan
terhadap kelompok tertindas, kesejahteraan rakyat, toleransi dan
anti-diskriminasi, yang sepatutnya menjadi bagian integral dari
perjuangan politik mereka. “Kita sangat sulit menemukan realitas
keberpihakan mereka terhadap kelompok-kelompok minoritas tertindas di
Indonesia, seperti yang menimpa kaum Syiah di Sampang dan jemaah
Ahmadiyah, serta kepedulian mereka pada kondisi ekonomi rakyat kecil
semakin sulit. Lalu dimana kita temukan moral Islam politik di
Indonesia?
++++
Bingung? Kaget? Apapun reaksi Anda,
kenyataannya tulisan kayak gitu itu memang ada. Bukan tertulis dalam
selebaran gelap, tetapi merupakan bagian dari pers rilis resmi yang
dikeluarkan oleh Ma’arif Institute—sebuah LSM bentukan mantan ketua PP
Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif. Rilis yang ditandatangani Ahmad Fuad
Fanani, Direktur Riset Maarif Institute itu, diterima sekretariat DPP
HTI pada 26 Juli 2013 lalu, terkait dengan diskusi buku karya Zuly
Qodir (Peneliti Maarif Institute dan Dosen Sosiologi UMY) berjudul HTI
dan PKS Menuai Kritik: Perilaku Gerakan Islam Politik di Indonesia? pada
tengah bulan Ramadhan lalu di Jakarta.
Meski buku itu
berbicara tentang HTI, juga PKS, tidak satu pun dari keduanya diundang
dalam acara itu. Tentu, hak mereka mau mengundang siapa. Hanya jadi
tampak sangat lucu. Mereka yang selama ini gencar sekali menyerukan
dialog dan acap mengajari kita untuk gemar berdialog, malah seolah
menutup pintu dialog: mengkritik, tetapi orang yang dikritik tak diberi
kesempatan untuk menjawab atau menjelaskan. Mungkin dengan tidak
mengundang HTI dan PKS, mereka merasa lebih nyaman untuk ngomong apa
saja tentang HTI dan PKS, termasuk memfitnah HTI tanpa sungkan.
Dari sisi isi, kita juga tidak mengerti dengan semua tuduhan-tuduhan
yang ditulis dalam buku itu, seperti bahwa HTI terlibat dalam perebutan
masjid dan aset milik NU dan Muhammadiyah. Tudingan seperti itu memang
sering kita dengar, tetapi hingga sekarang tidak pernah sekalipun
disebutkan secara kongkrit kasus itu terjadi di mana dan kapan. Memang,
banyak anggota HTI ikut memakmurkan masjid, dan di antaranya mungkin ada
masjid yang didirikan oleh Muhammadiyah atau NU, tentu ndak masalah to?
Bukankah tiap masjid, meski itu didirikan oleh sebuah lembaga,
hakikatnya adalah untuk seluruh umat Islam, dan setiap umat Islam memang
berkewajiban untuk memakmurkan masjid itu.
Bila soal perebutan
masjid saja tidak terbukti, apalagi soal perebutan aset yang dari aspek
legal tentu lebih definitif siapa pemiliknya; juga tudingan bahwa
kehadiran HTI memperkeruh suasana dakwah dan menimbulkan konflik di akar
rumput maupun di tingkat elit. Bagaimana bisa tudingan seperti ini
meluncur ringan dari mulut orang-orang yang selama ini mengusung jargon
toleransi dan pluralisme? Faktanya, selama ini HTI berdakwah di berbagai
tempat di Indonesia, baik di wilayah yang notebene adalah basis
Muhammadiyah, NU ataupun organisasi lain, tidak pernah terjadi apa yang
disebut konflik, apalagi menimbulkan suasana keruh. Yang ada, justru
dakwah HTI mendapatkan respon yang sangat baik. Memang, ada perbedaan
pendapat di sana-sini, itu wajar.Toh, setelah dijelaskan kemudian
terjadi saling pengertian.
Di tingkat elit, hubungan antara HTI
dan Muhamaddiyah, juga pimpinan pusat NU, berlangsung sangat bagus.
Komunikasi HTI dengan mereka berjalan sangat lancar. Dalam banyak isu,
seperti soal RUU Ormas baru lalu, kemudian soal UU Migas, juga soal
kezaliman Densus 88 dan isu lainnya, HTI dan Muhammadiyah serta Ormas
Islam lain bahu-membahu untuk memberikan respon secara lugas. Bahkan
setelah melalui dialog yang matang di antara ormas Islam, termasuk di
dalamnya HTI, UU Migas khususnya pasal mengenai BP Migas akhirnya bisa
dibatalkan melalui MK. Jadi siapa bilang ada konflik antara HTI dan
Muhammadiyah?
Jadi, jelas sekali ini buku ini bukan berisi
kritik, tetapi fitnah. Berbagai tuduhan meluncur tanpa dasar. Kalau
memang mereka pernah mendapat info tentang soal-soal yang dituduhkan
itu, tetap itu bersifat kasuistis sehingga tidak bisa digeneralisasi,
dan mestinya mereka melakukan tabayunatau konfirmasi dulu. Sayang, hal
itu tidak pernah mereka lakukan. Tahu-tahu berbagai tuduhan itu sudah
disebar; seolah-oleh benar bahwa HTI merebut masjid, merebut aset dan
telah menimbulkan konflik di sana-sini. Jadi siapa sebenarnya yang tidak
berakhlak dan memperkeruh suasana?
++++
Kalau begitu,
apa kira-kira kepentingan penulis buku ini? Tidak jelas. Kalau disebut
untuk kepentingan akademis, apakah tulisan yang lebih mirip gosip
provokatif itu bisa disebut tulisan ilmiah? Kalau disebut untuk
kepentingan umat Islam, tulisan itu malah justru cenderung mengadu domba
antarkomponen umat yang sejatinya selama ini telah terjalin hubungan
yang sangat bagus. Melalui SOLI (Silaturahim Organisasi dan Lembaga
Islam), misalnya; HTI, Muhammadiyah dan berbagai Ormas dan Organisasi
Islam lain bisa duduk bersama membicarakan banyak hal menyangkut
kemaslahatan umat. Dalam SOLI itu, HTI malah diminta untuk
mengkoordinasi dalam menanggapi masalah-masalah keumatan aktual. Dari
sini terlihat, penulis sesungguhnya adalah orang yang tidak tahu persis
dimanika hubungan antar Ormas Islam, khususnya antara HTI dan
Muhammadiyah, tetapi memaksakan diri menulis tentang soal ini. Jadi,
hasilnya ngawur.
Namun, kalau buku ini ditujukan untuk
menggembirakan pihak-pihak yang menginginkan adu domba dan perpecahan di
tubuh umat, kiranya cukup berhasil. Mungkinkah itu yang dimaui Penulis?
AlLahu’alam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar